Wednesday, July 3, 2013

Merujuk saat Injury Time, go!



Pukul 15.45. Injury time. Tinggal menunggu jemputan yang datang jam 16.00, mengantarku dari klinik hiperkes tempatku bekerja ke sandaran speedboat untuk pulang. Tiba-tiba ada pasien datang, pria baya usia 52 tahun, jatuh dari ketinggian 3 meter. Sekilas  pengamatan, bapak tersebut masih sadar penuh, GCS 356, motorik baik, tak terlihat perdarahan aktif. Lalu perawat menunjukkan,”Lukanya dalam dok, referal ya?” Ada luka di kepala bagian belakang, regio occipitalis, lebar 7 cm, dalam mencapai 1 cm, tanpa perdarahan aktif. “Oke, refer mas.” (baca : rujuk) 

Rute tercepat dari Jenebora (B) ke Balikpapan (A) adalah jalur laut
Sore ini menjadi perjalanan pulang yang cukup panjang dan melelahkan, sekaligus melegakan. Dan hal tersebut dimulai dari masalah di klinik. Klinik hiperkes yang baru beroperasi aktif 3 bulan ini bukan diperuntukkan untuk rawat inap, sehingga minimal tindakan dan minimal fasilitas. Keluarga panik setelah mendengar pasien mengeluh pusing. Kakaknya mulai gupuh,”Sus, minta minum ya, ini adek saya butuh minum. Sus, dia mengeluh sakit perut, apa tidak ada obat yang bisa diminum. Sus, dia pusing ini, minta infus, infusnya mana.. Ini adik saya gimana?”

“Tenang bu, minuman ada disebelah sana, tapi jangan diberi minum banyak khawatir muntah. Ini obatnya sudah diminumkan, ditunggu efeknya dulu. Sebentar lagi di infus, ibu tenang saja, tarik nafas panjang perlahan.” Semua jawaban yang aku berikan tidak cukup membuatnya tenang. Dalam hati aku ketar ketir juga, bagaimana kalau kesadaran tiba-tiba menurun. Obat hanya ada tablet pamol dan ranitidin, infus RL sudah diberikan walau dengan surflo ukuran 22. Oksigen transport tidak tersedia.

Pelajaran pertama : Harus ada yang tenang, saat semua yang lainnya panik. Tenang, tenang, pikirkan semua dari awal, gunakan ilmu kegawatan yang selama ini sudah banyak diajarkan di pelatihan

A : Airway, jalan napas oke, tidak ada sumbatan, pasien bisa berbicara. Posisi inline, tidak ada ganjalan bantal atau apapun yang membuat leher menekuk.
B : Breathing, napas teratur 16x/menit, tidak ada takipneu. Look listen and feel are within normal limit. Tidak ada jejas torak yang mengindikasikan hematothorax
C : Akral hangat, basah. Capillary refil time normal kurang dari 2 detik. Nadi radialis cepat, 90x/menit tapi kuat angkat. Perdarahan aktif tidak ada. Vulnus appertum di regio occipitalis sudah dibebat

ABC dalam batas normal (sampai saat itu), primary survey clear. Lihat seksama dari atas lagi, kira-kira apa saja ya kemungkinan orang jatuh dari ketinggian 3 meter dengan posisi terduduk dan kepala membentur balok kayu? Pikiran singkatku saat itu hanyalah

  • EDH , epidural hematom. Saat itu belum bisa sepenuhnya kusingkirkan, namun kondisi masih terkendali. Kesadaran tidak menurun, pupil 3mm isokor
  • SAH, sub arachnoid hematom. Tak ada tanda meningeal.
  • Perdarahan intra abdominal atau retroperitoneal, kutepiskan dahulu karena tidak ada jejas thorax maupun abdomen, tidak ada meteorismus, ataupun tanda-tanda syok
  • Close fraktur ektremitas, langsung kusingkirkan dengan melihat seluruh anggota geraknya dapat “mengerang” sempurna

Satu hal yang setelahnya juga ditanyakan oleh orang Rumah Sakit : kemungkinan cervical injury dan fraktur basis cranii. Tanda cervical injury tak nampak, defisit neurologis tak timbul. Fraktur basis cranii bisa di exclude sementara dengan tak adanya bloody rhinorae, bloody otorheae, brill hematome.
Tinggal masalah mengantar ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas memadai. Dan rumah sakit “tedekat” itu adalah di RS Tentara Balikpapan, yang ditempuh dengan speedboat 20 menit. Dan, cuaca pun seakan ingin ikut “berkontribusi” : hujan langsung turun perlahan dan segera menjadi derasss.

Pasien ditandu (pasien mencoba duduk dan terhuyung pusing) dengan susah payah, namun akhirnya berhasil dipindahkan dari pick up ke speedboat sedang, yang biasanya ditumpangi 6 orang (1 supir, 1 orang duduk samping supir, 4 lainnya di belakang berhadapan). Susah sekali pemindahan itu, tandu susah masuk ke bagian tengah speedboat yang notabene memang bukan untuk transportasi pasien. Tapi bukan orang Indonesia kalau tak banyak akal. Alhamdulillah pasien bisa masuk. Tapi eits, bukan berarti masalah selesai.

Pelajaran kedua : di speedboat hampir tak dapat melakukan apapun selain berdoa. Infus yang dipasang di punggung tangan kanan macet et causa clotting, tergeletak di samping pasien setelah dimatikan tetesannya. Jadi pelajaran juga, pilih pasang iv line dengan resiko macet dan tak berfungsi saat di boat, atau mengambil resiko tidak pasang iv line dengan estimasi perjalanan 2 jam? Saat itu aku memilih yang pertama. Di speedboat ini pegang nadi atau auskultasi pun tak bisa karena tak ada saat tenang, seperti semut di gelas minum yang digoncang, speedboat berusaha melaju ditengah gelombang. Hujan = gelombang = kabut = mual. Saat itu ada pelangi, yang membuatku berpikir,”Pelanginya indah, semoga pasien ini bisa indah pula, sampai dengan selamat di tempat rujukan.” Pemeriksaan yang setidaknya bisa kulakukan adalah “look : gerak napas ada.”

Pelajaran ketiga : transportasi itu sangat krusial. Sampai di pelabuhan, mobil yang seharusnya digunakan untuk mengantar tak ada, harus menunggu 40 menit lagi. Jangan dikira mobil ambulans yang muncul, yang kita tunggu ini mobil pick up milik keluarga pasien di Balikpapan. Alhamdulillah, teman yang menjemput asisten apotekerku bersedia memberikan tumpangan mobil terios-nya. Alhasil, pasien ditidurkan di kursi samping ditemani dua keluarga yang duduk memegang kepala dan kaki pasien, aku di belakang sambil menahan mual dan mengajak bicara pasien, memastikan kesadarannya tetap baik. Aman, pasien masih ‘nyambung’ dengan pertanyaan yang aku ajukan, tanda vital stabil, setidaknya aku melihat gerak napas, serta memegang selalu akral dan nadi radialisnya. Setelah perjalanan hampir 2 jam, sampailah di UGD RS Tentara

Pelajaran keempat : telepon terlebih dahulu tempat rujukan, agar dapat mempersiapkan lebih baik yang diperlukan. Beneran, aku lupa menelpon! Padahal selama jaga UGD RS, bila mendapat pasien rujukan, aku hampir selalu bertanya,”Tadi sudah telpon belum?” Untungnya dokter dan paramedis disana tidak marah, mungkin kasihan melihat dokter dengan tampang lemas dan jaket basah. Informasi yang diperlukan seperti mode of injury, hasil primary survey dan segala yang kuketahui telah kusampaikan. Keluarga lebih calm down karena pasien selamat sampai tempat rujukan. Si kakak spontan menjabat tangan dan memeluk tanda terima kasih.

Pelajaran seumur hidup : Do your best! Percaya diri akan kemampuan, karena rendah diri di saat yang tidak tepat itu membahayakan. Upgrade terus ilmu, tak ada kata terlalu terlambat untuk belajar. InsyaAllah fasilitas yang belum tersedia sedikit demi sedikit diusahakan. Perbaiki dan terus perbaiki.
Maju terus kesehatan Indonesia. Buat dokter dan paramedis yang mengabdi di tempat nun jauh disana tanpa transportasi memadai dan begitu sulitnya merujuk pasien, Ganbatte ne! Do your best!

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 dellasgarden. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.