Thursday, February 4, 2016

Kemana Santun itu...



Dua kali dalam satu minggu terakhir saya merujuk pasien dari klinik ke rumah sakit, oleh perawat yang sama juga. Pasien pertama, bapak A usia awal 50 tahun dengan penyakit jantung koroner, dan yang kedua bapak B 40 tahun dengan dugaan Dengue Fever dan Dehidrasi.

Pak A kami rujuk salah satu rumah sakit pemerintah yang melayani BPJS. Saya sangu-kan rujukan resmi ke UGD. Sampai disana, langsung disemprot dengan pertanyaan (atau penghakiman ya), “Koq ga telp dulu? Tau dari mana ini CAD? Mana EKG-nya? Doktermu itu! Memang ini rumah sakit mbah-mu apa?”  Saya yang mendengar penuturan perawat yang menceritakan semprotan itu langsung melengos. Yang membeber pertanyaan itu petugas dengan pangkat, tidak berani mas perawat untuk menjawab selain iya, nggeh. 

Tau dari mana CAD, ga ada EKG nya! Doktermu itu.. à tolong, tolong konfirmasi dan lihat status pasien dulu sebelum itu. Bapak itu sudah 2x masuk rumah sakit dengan keluhan yang sama, bapak itu pasien rutin penerima obat ISDN, Bisoprolol, Amlodipin, Clopidogrel. Hari itu adalah hari rutinnya kontrol ke poli penyakit dalam, rujukan poli pun telah saya beri, namun pagi setelah konsumsi ISDN 2x, masih terasa nyeri dada. Mana tega kami biarkan ia ke ugd atau poli sendiri tanpa ambulance dan oksigen? EKG mana? Jangan dikira saat saya omongkan klinik langsung terbayang peralatan standar seperti itu, ini klinik yang untuk menjangkaunya butuh speed 20 menit dari pelabuhan, dan 7 menit berkendara mobil, belum ada EKG, monitor dan lainnya. 

Koq ga telp dulu? Iya saya mengaku salah tidak menelpon terlebih dahulu. Tapi cobalah evaluasi juga, bagaimana perlakuan saat menjawab telpon. Saya pribadi (bukan perawat) pernah 3x menjadi anak baik dan mengkonfirmasi rujukan. Apa yang saya dapat? Kamar penuh. Ya, berprasangka baik bahwa memang kamar penuh. Satu kejadian terakhir tidak membuat saya bisa berprasangka baik lagi.
Pasien anak 16 tahun, pagi baru keluar rumah sakit, dirawat spesialis saraf dan penyakit dalam karena nyeri kepala hebat dan alergi obat. Sorenya saat ia minum obat, kembali alergi dan tidak dapat menelan, injeksi DD telah dilakukan, kami sarankan untuk observasi di RS malam itu. Saya telp rumah sakit itu. Tanpa ada jeda “saya tanya dulu ya kamarnya” pertugas itu menjawab “penuh”, dan saat itu berkebetulan keluarga saya ada yang dirawat. Pagi saya tanya,”Dari sore kemarin sampai pagi ini ada berapa bed yang kosong? Dua. Dua bed.”

“Walaupun saya jelaskan si pasien itu pasien rutin RS itu, dan menawarkan solusi apa tidak bisa diobservasi dulu dan dikonsulkan ke spesialis yang sebelumnya merawat kemudian ditunggu follow up nya? Dia menjawab,”Di sini ga bisa observasi mba, kalau kamar penuh ya mau gimana, kan jadinya ga bisa dirawat. Dirujuk RS lain dulu, baru pagi boleh konfirmasi ke sini lagi.”

Ia menawarkan solusi lain lagi, dicoba ke THT dulu, kan penyakitnya ga bisa menelan ya? Langsung saya tepis,”Bukan pak, saya takut edema laring, karena alergi obat-nya, suara paru masih baik, tapi selama ia belum bisa menelan, saya tidak berani pulangkan.”

Kembali ke pasien awal. “Memang ini rumah sakit mbah-mu apa?” Hmm, jelas bukan, juga bukan rumah sakit mbah anda (klo saya boleh menambahkan). Kami paham sebaiknya merujuk dengan prosedural, telpon dulu, beritahu dulu, tapi setiap kami menelpon, tak ada tanggapan,”baik, silahkan rujuk kesini.” Salahkah kami kalau kami “kapok” menelpon? Jika jawabannya salah. Saya ganti pertanyaan,”Memang sebegitu pantas kah kami mendapat perlakuan seperti itu?” Disajikan welcome drink berupa semprotan pertanyaan. 

Wahai diri (saya juga termasuk didalamnya). Tolong-lah pagari lisan, jika ia tak dapat berkata santun, tolong, tolong sekali lagi, janganlah menambah sakit. Tak bisakah anda bertanya baik-baik, tanpa nada menghakimi? Tidak perlu teriak, kami bisa mendengar tanpa alat bantu. Volume suara itu tidak akan menyelesaikan masalah.

***

“Kapok” ke rumah sakit pertama, perawat merujuk pasien kedua ke RS D, termasuk rumah sakit pemerintah yang dikenal lebih santun. Pasien demam 3 hari, badan lemas, mual. Akral dingin, Tensi 90/60 mmHg, rumple leed antara positif dan tidak. Curiga DF, dan kami tidak bisa memastikan karena tidak bisa pemeriksaan DL disini. Sampai disana, diperiksa dan hasil pemeriksaan baik. Pasien dipulangkan, perawat negosiasi, dan keluar kata-kata dari dokter,”Kalau mau nginep gratis ya bukan di RS.”

Saya tidak akan bahas indikasi pasien dirawat atau tidak ada dipulangkan, yang saya sesali adalah kata sejawat saya. Kemana santun itu? Bukankah kami dokter diajari etika sejak semester awal, dan kata Hipocrates masih terngiang, to cure seldom, to comfort always. “Pak, bapak ini tidak perlu rawat inap, boleh dibawa pulang, kalau lemas, besok bisa kembali ke poli.” Ah, mungkin perawat saya yang ngotot, atau mungkin saat itu pasien UGD ramai, atau mungkin yang lainnya. Tapi saya merindukan kata santun itu.

***

Kali ini dari mba tenaga kesehatan di tempat saya. Ibunya dugaan kanker payudara, puting sudah menjorok ke dalam, di sekeliling ada struktur keras seperti jeruk purut, keluhan nyeri pinggang dan demam juga sudah dirasakan. Sudah lama mba itu tahu, sudah berulang kali bujuk rayu dilayangkan tapi si ibu enggan. Mungkin salah satu karena khawatir biaya pengobatakan akan membebani si anak, ibu itu bilang,”sudah, ibu ga usah dipikir, kamu mikir ani dan ifa aja” (cucunya). Sampai suatu hari si ibu drop, demam dan lemas, akhirnya dengan buruk rayu terakhir dibawalah ke UGD RS. Dokter menjelaskan tidak ada indikasi rawat inap, dan besok harus berobat ke poli Onkologi. Salah satu pegawai kesehatan disana, membeber dengan pertanyaan

“Koq baru dibawa sekarang? Sudah berobat?” Saat dijawab, sudah, saya berobat herbal. “Gimana berobat herbal? Sembuh?!” mengajukan pertanyaan yang retoris dengan nada tidak normal.
Sedih saya dengar mba tersebut cerita. Keberanian si ibu untuk mau diobati dan keberhasilan si anak untuk membujuk rayu ibunya berobat, disambut dengan pertanyaan “khas” dengan nada yang “khas” pula.

Kompleks, tidak semudah itu kita dapat menyimpulkan keadaan pasien. Banyak hal yang membuat ia baru berobat sekarang, banyak yang membuat ia takut berobat (yang mungkin salah satunya bertemu petugas seperti diatas). Sekali lagi, jika tidak bisa membantu, cukup, jangan ditambahi dengan menabur garam di luka. Ibu itu sudah susah, jangan menambah susah. Hibur ia dengan optimisme,” Sudah benar ibu ke rumah sakit, sekarang tidak perlu pakai herbal-nya lagi ya. Besok ke sini lagi. Penyakit-nya bisa dipastikan, dan kami pasti membantu semaksimal mungkin. Ibu bantu dengan berusaha juga dan berdoa.” Adem kan, dingin, sejuk perkataannya. Pastinya membuat ibu tidak takut untuk kembali. Sedang pertanyaan,”Koq baru berobat sekarang? Memang sembuh pakai herbal?” tidak membantu sama sekali, justru membuat ‘trauma’ baru. (karena ini juga diucapkan dengan nada tidak normal, seperti kita mengatakan,”tuh kan, apa saya bilang”)

Mungkin budaya nakut-nakuti dan marah-marahi sudah sejak kecil kita terima dan akhirnya secara tidak sadar merasuk ke perilaku dan alam bawah sadar,”Kalau ga dimarahi pasti nakal.” Bukan budaya memberikan optimisme. Nilai jelek langsung dimarahi,”Ga belajar ya? Gimana klo nilai jelek ga naik kelas?”

Sudahlah, tidak perlu berpanjang lebar. Hal diatas tentu dilakukan oleh oknum, tidak semua seperti itu. Hanya perawat saya yang ‘beruntung’ menemui hal tersebut berturut-turut dalam seminggu ini. Semoga tidak menjadi ‘trauma’, trauma bagi pasien, trauma bagi perawat yang merujuk, dan lainnya. Dan sebaiknya kita (dan saya) mencoba mencari dan berteman dengan santun itu. Santun dan memilih diam, ketika kita tidak dapat berkata baik. Santun dan menahan emosi, jikalau tidak dapat membantu, tidaklah kemudian menambah luka.
 
Copyright (c) 2010 dellasgarden. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.