Berikut lanjutan artikel sebelumnya. Bagi yang belum membaca silakan mampir ke sini
Keselarasan
antara Rumah dan Sekolah
Mengapa dari sirah nabi, yang dipilih oleh ust Budi Ashari dan tim Parenting Nabawiyah adalah 2 konsep krusial yakni pendidikan dan parenting? Karena di dua hal inilah yang sangat menjadi perhatian oleh musuh Islam, dan menjadi sumber kerusakan generasi.
Lihat siapa rujukan
selama ini dalam dunia parenting dan pendidikan ataupun psikologi? Montessory,
Pavlov, novel Emil, dsb >>
padahal dari mereka ada yang keluarganya gagal, punya penyimpangan seksual, dll >> tidak heran bila
kemudian generasi yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan. Fenomena lain saat
ini. Nabi dijadikan “stempel” >>
menggunakan konsep dari Barat, kemudian dicari ayat Al Qur’an dan Hadist yang
sesuai.
Bandingkan konsep
Islam dengan teori pendidikan saat ini, contoh : 20 karakter baik anak yaitu ingin
tahu, jujur, tanggung jawab, disiplin, peduli, dsb. Di Islam, jauh lebih baik
dari itu. Ibroh : Islam telah mengajarkan semua, termasuk pendidikan.
Cerita
Kuttab al Fatih :
- - 1 kelas terdiri dari 12 santri dengan 2 guru, 1 guru iman, 1 guru qur’an.
- - Membangun wibawa guru. Murid perlu menghormati guru. Fenomena saat ini banyak anak orang kaya yang merasa lebih berkuasa dibandingkan ayahnya, padahal itu semua harta ayahnya.
- - Sekolah >> lembaga yang membantu pendidikan orang tua di rumah, bukan sebaliknya. Rumah >> lembaga pendidikan pertama. Di kuttab, ada program BBO Belajar Bareng Ortu, siswa diberi pekerjaan rumah, orang tua juga diberi panduan.
Pendidikan :
mencari momentum dan membangun suasana yang enak untuk memasukkan nilai Islam,
cth. Ibnu Abbas diberi nasihat oleh Nabi di tunggangan menuju Madinah. Saya
(ust Arief) menggunakan momentum antar anak sekolah sebagai kesempatan ngobrol
berdua dengan anak.
Membangun
Generasi Penakluk Roma. Hadist nabi bahwa Konstantinopel dan Roma akan takluk
pada Islam. Konstantinopel telah jatuh 857H/1453M, kapan giliran Roma? Didik anak
kita menjadi orang besar yang kelak menjadi/melahirkan keturunan yang akan
menaklukan Roma.
Pilar utama
pendidikan : Rumah! Anak bisa belajar dari mana saja, sekolah, jalan,
masyarakat, tapi yang paling kuat memberikan makna adalah di keluarga.
Penelitian tentang siapa yang paling berpengaruh pada anak menampakkan hasil à pengaruh sekolah 20%, lingkungan
20%, rumah 60%.
Lalu kenapa
saat ini banyak ortu mengeluh,”Anak saya nakal, karena di sekolahnya berteman
dengan.., karena lingkungannya...” >>
Padahal seharusnya rumah-lah yang punya pengaruh paling besar. Jawabannya >> karena orang tua tidak
utuh mengambil peran 60%. Bagaimana
dapat mengambil peran utuh ketika ibu keluar bada subuh pulang bada isya?
Ketiadaan
ortu di rumah memberikan efek dahsyat (dalam arti tidak baik). Salah satu kisah
dari ust. Arief. Saat baru pindah rumah, ada anak tetangga yang main dirumah. Anak
ini usia sekitar 4 tahun , orangtuanya sama-sama bekerja. Saat meminta minum,dia
bilang ke istri saya,”eh, eh, eh, aku mau minum dong, ambil.” Istri saya hanya
melongo dan menjawab,”Kamu ngomong apa nak?” yang kemudian pelan-pelan ia
diajarkan,”Umi, saya haus, minta tolong ambil minum.” Kemudian, ia sering
datang ke rumah dan suatu hari dengan polosnya bertanya pada saya,”Abi, abi mau
ga jadi abi aku?” >>
pertanyaan polos dari seorang anak yang “kehilangan” sosok orang tua di
rumahnya. Jangan sampai anak kehilangan sosok orang tua
Gadget >> jauhkan ini dari anak.
Orang tua ada yang bertanya pada saya,”Ustadz, gimana ini anak saya kecanduan
gadget?”. Saya jawab,”Dulu tanya ke ustadz ga pas pengen kasi gadget ke anak?” “Gak
ustadz.” “Kalau dulu ga tanya ustadz boleh ga kasi gadget ke anak, Lalu kenapa
sekarang saat ada masalah baru bertanya?” >>
Mengapa ustadz dilibatkan saat sudah terjadi masalah, saat seharusnya kita bisa
bertanya dulu sebelum masalah itu muncul.
Anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanya yang membuat ia yahudi, nasrani,
majusi. Fitrah anak >>
Islam. 7 : 172. Maka seharusnya mudah mendidik anak dalam kebaikan karena
memang sesuai fitrah, lalu kenapa yang terjadi sebaliknya? Ayah Bunda, jika
kita punya keterbatasan ilmu dan kesholihan, jika tidak bisa menambah kebaikan
anak, minimal jangan merusak fitrah itu. Apa saja hal di rumah yang berpotensi
untuk merusak fitrah anak >>
mulailah untuk meniadakan.
Konsep Islam
itu sempurna. Saat nabi mengatakan usia, maka usia itu adalah patokan penting. Cth.
suruh solat usia 7 tahun, pukul (jika tidak mau sholat) usia 10 tahun. Kenapa 7
tahun? Ini usia dimana fitrahnya keluar, anak sedang sangat bersemangat dan
dekat dengan Rabbnya, ia akan banyak bertanya tentang tauhid.
Kejadian
unik. Salah satu ortu anak di kuttab tanya,”Ustadz, anak saya diajarin apa, koq
bilang aku mau mati?” Ternyata awalnya, di kelas diajarkan bahwa Allah Maha
Pemurah dan Penyayang. Anak ini merasa Allah itu baik banget, dia punya orang
tua yang baik, guru yang baik. Sampai muncul kata,”Aku pengen ketemu Allah” “Bagaimana
cara ketemu Allah”,ia bertanya pada guru. “Belum bisa ketemu sekarang, nanti
bertemu setelah mati.” Sampai akhirnya ia bilang ke ortunya seperti itu.
Layaknya kita ketika diberi pemberian yang baik oleh orang, tentu ingin sekali
bertemu orang itu dan mengucap terima kasih >>
Ibrah, saat usia itu, anak sedang menggebu untuk dekat dengan Rabbnya
Potret
pendidikan saat ini (1): sekolah jauh dari masjid, padahal masjid adalah setra
peradaban. Yang dibangun pertama kali oleh nabi di Madinah >> masjid. Mengapa saat
ini berbeda? Karena masjid belum dijadikan sentra. Rasa ‘diimami’ di masjid
juga hilang. Kadang berkesan bahwa ketua dkm lebih berpengaruh dibanding imam
masjid (upz). Di Arab, iqomat dikumandangkan saat imam masuk masjid. Dulu,
Bilal baru akan iqomat ketika Rasul masuk masjid dan memerintahkan. Lihat
ibrohnya? Imam masjid >> ia lah yang mengatur. Pilih imam yang hafidz, berilmu >> sehingga ketika ada
permasalahan di umat, imam masjidlah yang menjadi rujukan >> ada rasa ‘diimami’
Potret
pendidikan saat ini (2): sekolah teori tanpa praktek >> mengajarkan kurikulum bukan
berdasar keimanan. Praktik agama SMA >>
sholat. Apakah selama ini sholatnya siswa tidak dipercaya? Lalu, untuk soal
tulis : solat berapa rakaat, tata cara seperti apa, dsb siswa dapat nilai 100,
tapi bagaimana dengan praktiknya? Apa mereka segera sholat ketika mendengar
adzan, apa mereka paham kenapa harus sholat?
Solusi :
Sekolah harus mendekatkan hubungan dengan rumah. Cerita kuttab. Ada program
untuk menilai jiwa amanah pada anak. Anak diberi uang 5000 seri sekian oleh
ustadz, kemudian diminta untuk menyimpan selama seminggu lalu kemudian
dikembalikan, dan tidak boleh memberitahu ke siapapun. Lalu ustadz akan memberi
tahu ortu kalau anaknya diberi uang 5000 seri sekian dan ortu diminta untuk
menanyakan. Ketika ortu tanya,”Dititipin apa sama ustadz?” “Ga da dititip
apa-apa koq” dan kemudian anak berhasil mengembalikan uang itu pada ustadznya >> berarti ia berhasil
menyelesaikan tugas dan mulai memiliki jiwa amanah.
Nasihat
untuk ortu : jangan sampai urusan hafalan al fatihah dan juz 30 anak kita
diserahkan ke guru >>
ini adalah amal jariyah orang tua, apa rela orang lain yang mengambilnya?
Perlukah
guru/les tambahan? “Hanya untuk anak-anak yang lemah dan orang tua yang tidak
mengerti” (pendapat Khalid Asy Syantut-Pakar Pendidikan Islam). Bukan tidak
membolehkan menjadi guru les, tapi ada adab ilmu yang tidak tercapai disana. Guru
les privat datang ke rumah >>
padahal salah satu adab ilmu adalah didatangi, bukan mendatangi.
Unik. Saat itu
ust Budi bertanya pada orang yang punya banyak usaha les,”untuk dapat ijazah SD
berapa lama waktu yang dibutuhkan?” “Cukup 3-6 bulan, nanti program belajarnya
bla bla bla.” >>
lalu apa yang dipelajari selama 6 tahun? Cerita kuttab (setaraf SD). Anak diajar
untuk menghafal al Qur’an 7 juz, kemudian menjelang ujian nasional, 3-6
sebelumnya baru akan ada program khusus untuk UN. Di madrasah (setaraf SMP
SMA). Tahun pertama anak diajar untuk menghafal 23 juz selanjutnya, kemudian
menghafal 1600 hadist kitab Bulughul Maram. Seperti ulama terdahulu >> kaidah ilmu adalah
dihafal. Output yang diharapkan à
mereka akan siap menikah diusia dini >>
karena mereka telah baligh
Libur
sekolah bukan tidur dan bermain saja. Jangan sampai kontra produktif. Mendidik anak
sejatinya memberi nilai yang lebih baik untuk kehidupan dunia dan akhiratnya.
Saat anak panas sampai 39 C ortu akan panik. Bagaimana jika melihat anak
terancam kondisinya (dekat api neraka) di akhirat nanti? Tentu lebih panik >> Ibroh : jangan mudah “merasa
kasihan” dan putus asa untuk sebuah kebaikan.
Agenda
libur. Boleh nambah waktu tidur (tapi sedikit). Hindari waktu tidur yang makruh
(bada subuh, bada ashar). Tiru tidur nabi : tidur awal, bangun awal. Tidur sebentar
sebelum dhuhur. Tidur antara adzan pertama dan adzan kedua sholat subuh (jarak
adzan pertama dan kedua sekitar 50 ayat)
Agenda
libur. Boleh nambah waktu main (tapi sedikit). Ga semua anak suka main. Nabi Yahya
: dan bukan untuk bermain aku diciptakan. Imam Nawawi : saat kecil ia sudah
senang baca buku dan ikut kajian ulama.
Agenda
libur. Tambahan kegiatan bermanfaat. Balita >>
beri dialog iman. Baligh >>
berikan masalah, agar ia punya kesadaran dan tanggung jawab memperbaiki
masyarakat. Cerita kuttab. Liburan ada program hafalan ayat dan hadist tentang
berbakti pada ortu. Jurnal harian sudah membantu ortu apa saja, dsb.
Pelajaran
dari Nabi. Jika menyebut angka >>
berarti penting. Jika tidak menyebut angka >>
perhatikan tanda-tandanya. Cth. Islam membagi usia menjadi 2 : belum baligh dan
sudah baligh. Maka tak ada fase remaja (baca : labil, pemberontak, konotasi
negatif lain) dalam Islam. Jangan jadikan pembenaran,”Ah, dia kan masih remaja,
mencari jati diri.” Berikan dialog ,”Nak, kamu sudah baligh.., .” >> menimbulkan efek
tanggung jawab. Bukankah baligh mengandung arti : ia telah dijatuhi hukum
taklif, menjadi mukallaf, dan punya tanggung jawab yang sama dengan ortu?
Jadilah
teladan. Urutan pertama saat kita ingin anak kita ahli tahajjud >> jadilah ortu yang ahli
tahajjud. Ayah, jadilah model laki impian >>
agar anak perempuan kelak bisa mendefinisikan suami idaman dengan standar
minimal ayahnya.
Cerita
kuttab. Pengambilan rapot oleh kedua ortu. Ini momen kepedulian ortu
pada anak, sekaligus momen diskusi ortu dan guru.
Cerita
kuttab. Di awal ada proses penyerahan cemeti dari ortu ke guru. Ini proses yang
ditentang oleh teori pendidikan saat ini. Padahal ada contohnya, saat sultan
memberi cemeti pada guru M. Al Fatih, dan berkata,”cambuklah ia ketika tidak
mau diajar.” Apa yang dilakukan guru saat Al Fatih kecil berbuat sesukanya
karena merasa ia anak sultan? >>
cambukan dilakukan. Pelajaran awal penting bagi Al Fatih yang kemudian
menjadikan ia penakluk Konstantinopel. Ayah Bunda saat ini boleh protes dan
bicara apapun, namun jebolan dari metode itu adalah al Fatih.
Hukuman
dalam Islam layaknya obat bagi si sakit. Jika tidak sakit ya tidak perlu di
obati. Jika tidak nakal buat apa dihukum. Obat ada dosis, jika tidak mempan
maka ditingkatkan. Begitupun hukuman, dimulai dengan yang kecil, kalau tidak
mempan ya ditingkatkan. Kuttab tidak melakukan pendekatan pendidikan dengan
hukuman, tapi hukuman juga jangan dihilangkan dari anak2.
Jangan
pernah menjatuhkan wibawa guru didepan anak ! Atau akan terjadi kiamatnya dunia
pendidikan. Lakukan proses tabayun. Jangan sampai saat anak mengomel,”Guru ini
galak” ortu balas mengompori,”Iya, ibu tahu guru itu emang galak, nanti ibu
kasitau ke gurumu.” Karena sekolah adalah yang paling mudah “mengambil alih”
peran pendidik ketika orang tua “tidak berdaya” >>
janganlah dirusak wibawanya , di saat untuk membantu pun ortu tidak bisa.
Bersambung InsyaAllah setelah ini diringkas yang Day 2. Semoga bermanfaat. Untuk mengetahui parenting nabawiyah lebih lanjut, bisa jalan-jalan ke web ini
0 komentar:
Post a Comment