Friday, May 20, 2016

Mata, Karunia Tak Ternilai




Penglihatan...Begitu tak ternilainya karunia ini, sampai-sampai baru dirasakan nilainya ketika nikmat itu telah dicabut sedikit demi sedikit. 

Sedikit pelajaran mengenai mata kuingat. Proses manusia melihat. Cahaya berupa gelombang yang ditangkap oleh pupil, kemudian menuju lensa untuk kemudian diteruskan ke retina, dari retina sinyal tersebut dibawa ke otak melalui saraf optik. Disana, gambar yang diterima dari kedua mata yang awalnya dalam posisi terbalik, diterjemahnya sedemikian rupa seperti yang kita lihat. Dunia dengan berbagai warna dan bentuk, alam dengan segala kemegahannya, manusia dengan segala keelokan dan senyumnya. Semua kita nikmati setiap detiknya secara “otomatis” tanpa perlu mengetahui segala kerumitan dari proses melihat ini. Jangankan mengatur, untuk sekedar mempelajarinya saja sudah membuat kita pusing.

Saking otomatisnya proses melihat ini, kita kadang merasa bahwa nikmat ini memang ‘seharusnya’ ada pada diri kita. Kita yang punya mata, suka-suka kita dong mau lihat apa. Mata-mata gue.  Apa urusan loe? Begitulah ego kita berkata. Banyak hal-hal yang tidak perlu dilihat. Aurat wanita dan pria yang diumbar. Drama yang membuat hati panjang angan. Buku yang tidak menambah ilmu dan iman kita, hanya cukup membuat kita tertawa dan terlupa.

Bukan menghardik teman-teman, namun ini pengingat bagi diriku. Mbah Kung, adalah sosok yang dipilih Allah untuk menerima ujian ini. Di usianya yang 62 tahun, sekitar 2-3 bulan yang lalu, mbah merasa kabur pada mata kanan. Katarak imatur, proses yang terjadi pada lensa yang memang terjadi seiring bertambahnya usia, membuat penglihatan kabur. Berkali-kali mbah tanya padaku,”Harus operasi kah?” Mbah kung termasuk orang yang takut berhubungan dengan rumah sakit dan operasi. “Ya mbah, kalau parah harus operasi.”, begitu penjelasanku. Sekarang berobat saja dulu ke dokter mata, diikuti nasihat dokter matanya. 

“Di tetesi obat mata dulu ya pak dan pakai kacamata, belum perlu operasi.”, begitu hasil konsultasi dengan spesialis mata. Satu bulan belum dirasa perubahan, mbah mulai gelisah. Berkali-kali tanya padaku,”Kok masih kabur ya?” Tetangga mbah baru-baru saja operasi katarak, pagi operasi, sore langsung dapat melihat jelas. Tetangga itu pun menggebu menyarankan ke mbah,”Operasi aja pak Lan, mentereng langsung bisa lihat.” Setelah itu, mbah yang biasanya alergi dengan kata operasi, mendadak ingin segera dioperasi. Setelah Ramadhan adalah jadwal operasinya. Namun sebulan lalu, mbah ingin segera dioperasi dan dokter mata pun membolehkan. Setelah cek up, kadar gula terkontrol, jantung baik, mbah pun di operasi. Jelas mbah mempunyai harapan tinggi matanya dapat melihat jelas. Sorenya setelah operasi, mbah mengeluh,”Kok masi kabur ya?” Mbah Uti yang memang lebih ekspresif (baca : sedikit cerewet) segera menumpahkan emosinya. “Mbah Kung mu ini lho, pengennya sa’det sa’nyet. Pengen hari ini operasi, hari ini sembuh. Dokternya bilang ga usa operasi dulu, mbah ngotot operasi, sekarang sudah operasi, ngotot pengen sembuh hari ini. Sabar tho pak,.”, mbah uti mengeluhkan mbah Kung yang “grusa grusu” Aku hanya bisa menjelaskan,”Sabar mbah, kalau orang dengan gula memang sembuhnya lebih lama.”

Empat hari post operasi, mbah menjalani operasi kedua mata mata yang sama. “Di sedot.”, begitu penjelasan dokter ke mbah, aku tidak menemaninya kontrol karena bekerja. Setelah itu, mbah bilang matanya bisa melihat sinar merah, tidak jelas bentuk benda, hanya berupa sinar. Rutin mbah menjalani jadwal kontrol 1-2x tiap minggu, namun mbah mulai ga sabar dengan hasil yang tak kunjung sesuai harapannya. Dua bulan ini belum ada perubahan signifikan. Selama dua bulan ini, emosi mbah pun terkuras, bukan hanya Kung, tapi juga Uti. Mbah Kung mengeluh, “Kenapa  belum bisa melihat?” dan akhirnya malas melakukan apa-apa. Jualan es yang merupakan rutinitas memang ditinggalkan karena tidak boleh angkat berat post operasi. Rutinitas hanya berpindah dari kamar, ke ruang tamu, dan mushola dekat rumah. Selera makan pun berkurang, hanya makan nasi lauk kuah sayur. Ayam, telur, ikan, semua enggan dimakan. Uti tak kalah stress. Bingung harus memasakkan apa. “Mbah Kung itu ga mau makan apa-apa. Sudah susah-susah dimasakkan. Aku sudah berkorban banyak lho pak.” 

Kondisi itu bertambah runyam dengan pendengaran mbah Uti yang berkurang. Mbah Kung ngomong pelan, ga dengar, ngomong keras disangka teriak. “Belikan Alat Bantu Dengar,” itu perintah Kung ke aku. Aku belikan ABD sementara, namun kurang nyaman dipakai Uti, yang akhirnya tak dipakai rutin. Serba salah, Kung mengeluhkan Uti, Uti mengeluhkan Kung. “Suami ujian bagi istri, Istri ujian bagi suami,”itu istilah papaku.

“Mbah pengen ke rumah sakit lain, nanti sama dokter X, yang operasi Pak tetangga itu, biar ada perubahan.”
“Mbah ga pengen ke kondangan, naik tangganya susah, nanti nyusahin orang banyak, orang sudah cacat gini.”
“Biar sudah, sembuh ga sembuh, namanya penyakit sudah dibikin sendiri. Dulu yang ngotot operasi kan mbah.”

Begitu kata-kata bernuansa hilang harapan selalu kudengar dari Kung. Kucoba menghibur dengan,”Mbah, pas Haji dulu doanya apa hayo, pengen masuk surga kan? Kalau pengen masuk surga memang ada ujiannya. Pulang Haji, memang ada ujiannya untuk membuktikan mbah haji mabrur. Nanti dicuci dosanya, biar bisa masuk surga.” Lain waktu, kuceritakan tentang kisah anak kecil buta yang rela menempuh berkilo kilo meter untuk menghafal Qur’an dan ia minta agar penglihatannya tidak dikembalikan di dunia. “Mbah, kalau lagi diuji, harus tambah semangat ibadahnya. Ga bisa baca Qur’an, bisa dengerin kan?” Speaker Al-Qur’an pun kuhadiahkan untuk mbah. Aku pun merencanakan membawa mbah “jalan-jalan” ke Panti akhir bulan Mei ini, semoga bisa melembutkan hati, dan mendapat doa mustajab dari anak yatim yang dibantu. Belum juga mencapai tanggal 29 mei, hari ini terjadi yang telah kutakutkan.

Sore ini, telpon sebelum jaga malam mengejutkanku. Sekarang mata mbah yang kiri juga kabur. Tadi mbah kebingungan setelah sholat Isya karena tidak bisa pulang. Uti pun menelpon dengan suara bergetar sambil menangis, katanya Kung juga menangis. Ya Allah, Kung yang merupakan sosok tegar selama ini telah berada di puncak kerapuhannya dengan diambil sedikit nikmat penglihatan. Bila selama ini ia tegar dengan penyakit diabet dan hipertensi yang mengharuskannya meminum 4 jenis obat rutin, kali ini ketegaran itu hancur dengan kedua matanya yang kabur.

Aku yang notabene dokter umum pun tak bisa berbuat banyak, hanya kusarankan mbah istighfar yang banyak, kita ke dokter mata ya secepatnya. Katarak dan Diabetes memang bukan kombinasi yang baik, diabetes memperparah proses penyembuhan katarak. Ketika operasi pada mata satu kurang berhasil, riskan untuk operasi mata lainnya. Jelas emosi terkuras,”Bagaimana jika tidak berhasil lagi? Bagaimana kalau tidak bisa melihat lagi?”. Pemikiran seperti itu saja sudah membuat bergidik.

Tahap demi tahap mbah diuji dengan penglihatan kaburnya semakin membuatku sadar dengan betapa besarnya nikmat penglihatan ini. Kejadian didepanku serasa menamparku yang masih belum mempergunakan mata ini dengan baik. Rasanya ingin tiap detik dihabiskan untuk melihat yang bermanfaat, baca dan menghafal al-Qur’an, mengkhatamkan buku bacaan di rumah. Ingin rasanya tidak berlebihan tidur, tidak menonton tivi, tidak melihat hal-hal yang membuat panjang angan-angan. Semua ingin kulakukan sebelum nikmat penglihatan ini diambil kembali oleh Sang Pemilik.

Kadang aku merasa nikmat ini belum sesempurna orang lain yang berpenglihatan normal. Mataku high myop dan cylinder, membuatnya terlihat sedikit strabismus.  Resiko ablatio retina lebih besar, terlebih saat mengejan jika melahirkan normal, sehingga orang yang sepertiku biasanya disarankan untuk operasi caesar jika melahirkan. Aku tak dapat melihat jelas tanpa kacamata. Suatu saat aku merasakan ketakutan saat kacamata itu tak dapat kutemukan. Kecemasan yang mengerikan walau terjadi hanya sesaat.

Sungguh, itu tidak ada apa-apanya dengan yang dirasakan mbah. Walaupun mbah selama 62 tahunnya dapat menglihat jelas, ternyata ia pun begitu terpukul ketika penglihatan itu mulai menghilang.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(QS Al Baqarah : 286)

Allah memilih mbah karena mbah mampu, dan semoga mbah sadar sepenuhnya hal itu. Dan bagi diriku yang masih memiliki penglihatan jelas, tidak ada lagi alasan, mata ini harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk sesuatu yang bermanfaat.

Catatan untuk diriku,
Di balik meja poli, saat jaga malam
21.05.16 , 00.35

0 komentar:

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 dellasgarden. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.