Ahad, 4 Rajab 1435H/ 4 Mei 2014
Karena tidak ada waktu
kedua, dan tak ada pengalaman yang tak berharga.
06.00 Ahad pagi diawali dengan bangun terlambat dan
terburu-buru berangkat jaga. Alhamdulillah,
tidak telat.
Memang, beberapa hari terakhir dan seminggu kedepan, jadwal jaga sedang
menumpuk, ritme kegiatanku hanya seputar jaga-tidur-jaga-tidur. Pelajaran awal,
jangan tidur kemaleman yang berakibat bangun kesiangan.
Momen unik saat jaga. Pasien NA, 41 tahun, kembali datang
kepadaku, ditemani oleh ibunya. Ibunya bilang, si ‘anak’ tidak mau makan selama
2 bulan, susah sekali disuruh makan. “Dokter bilang ya ke NA biar mau makan”,pinta
ibunya. Mungkin kalian bingung, wanita usia 41 tahun berobat kok masih diantar
ibunya. Yah, tebakanmu tepat, ia menderita keterbelakangan mental. “Ini dok,
dia ga mau makan, padahal besok Senin mau umroh. Ini saya ajak umroh, semoga
ada hikmahnya. Dari kecil dulu, NA sakit-sakitan saya yang urus, sampai usia 41
tahun pun, saya yang urus.” Subhanallah, pastilah si ibu banyak pahalanya,
sabar mengurus anak, sampai Allah pun bersedia mengundangnya lebih cepat untuk
ke Baitullah. Tak lupa aku berceletuk,”Ibu, doain kita-kita biar cepat menyusul
kesana ya.”
***
16.00. Pulang jaga, akhirnya aku dapat menemui kembali
sahabat untuk mengkaji ilmu,--setelah
lama absen, hehehe. Sore hari yang berkah dengan turunnya hujan, aku mendapat Ilmu
baru lagi : tentang “Sepuluh amalan baik di pagi hari” yaitu : bangun lebih
pagi, munajat dalam keheningan malam, istighfar di waktu sahur, tegakkan sunnah
dua rakaat sebelum subuhm pancinglah harimu dengan sedekah pagi, sholat subuh
berjamaah, dzikir dan wirid di pagi hari, siramilah jiwa dengan bacaan
al-Quran, berbuat baik di pagi hari dan sujudlah di waktu dhuha.
***
19.00 Bada Magrib, aku melipir ke Istiqomah Book Fair di
hari terakhir dan jam-jam terakhir, berharap ada diskon lebih. Akhirnya
lirikanku jatuh ke sebuah buku dengan kata “Terlarang”. Judul lengkapnya adalah
Ma’alim fi ath-Tha’ariq, karya Sayyid Quthb. Aku baru berhasil membaca bab
awal,’Telunjuk yang Bersyahadat’—sebuah kesaksian polisi yang ikut dalam proses
eksekusi Sayyid Quthb. Di detik terakhir kematiannya, Sayyid Quthb ditawari
oleh perwira tinggi untuk membatalkan eksekusi dengan satu perbuatan,”Tulislah Saudaraku
satu kalimat saja, Aku bersalah dan aku minta maaf...” Ia menatap ke perwira
itu dan tersenyum, lalu berkata penuh wibawa,”Tidak akan pernah! Aku tidak akan
pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang
abadi.” Kata-kata beliau yang terkenal “Telunjuk yang senantiasa mempersaksikan
keesaan Allah dalam setiap shalat, menolak untuk menuliskan barang satu huruf
penundukan atau menyerah kepada rezim thawaghit.”
Lalu, polisi yang menyaksikan kejadian itu pun detik itu
berjanji untuk bertobat dan senantiasa takut kepada Allah. Benarlah bahwa buku
ini terlarang, karena dapat membuat seorang muslim kembali ke jalannya yang
lurus. Cover yang jenius. Ketika ada kata ‘larangan’, justru itulah yang
membuat pembaca lebih penasaran dan ‘melanggar’
***
21.00 Akhir malamku, dikejutkan dengan berita di TV one, “RS
tolak pasien.” Fiuh, kejadian apa lagi ini. Seorang bayi mengalami panas tinggi
dan dirawat inap di RS di Jakarta, direkomendasikan Sp.A untuk masuk ICU saat siang
harinya. Sebelum masuk ICU, keluarga perlu mengurus administrasi dan membayar
uang jaminan sejumlah 5 juta. Saat si bapak mengurus administrasi tersebut,
bayi mengalami kejang dan diklaim oleh ibunya bahwa tidak ada tindakan darurat
yang dilakukan oleh tenaga medis disana. Sampai akhirnya bayi tersebut
meninggal, dan keluarga menuntut ke RS.
Lalu diadakan diskusi antara orang tua alm bayi, wamenkes,
dan anggota DPR. Beberapa kutipan tokoh yang bisa aku tangkap. Wamenkes,”Rumah
Sakit harus melayani keadaan darurat, tanpa meminta uang jaminan di awal. Bila
tidak, maka akan dikenakan sanksi bla bla bla. Ibu dan Bapak bila menuntut ini
dapat melapor ke MKDKI.” Anggota DPR,”Selama ini, yang saya tahu, bila kasus
seperti ini dilaporkan ke MKDKI akan ada ‘silence konspiration’, kasus tidak
akan terungkap karena yang mengadili adalah kaum dokter, dan yang diadili pun
rumah sakit yang isinya dokter juga. Kasus seperti ini juga saya lihat di
banyak film.” Orang tua alm bayi,”Saya tidak tahu kalau ada peraturan seperti
itu (RS tidak boleh menarik uang jaminan). Rumah sakit harusnya tidak seperti
itu. Jangan menganggap orang kecil tidak dapat membayar. Kami sebagai orang tua
pasti sanggup membayar.”
Komentarku? 1. Mengapa tidak ada humas dari RS terkait yang
ada di diskusi tersebut ya, sehingga laporan dapat dikonfirmasi dua arah. 2.
Bila kejadian belum bisa dikonfirmasi, benarkah seperti itu kejadiannya,
bagaimana saya dapat berkomentar lebih jauh?
Pertanyaan yang terlintas di otakku :
1.Benarkah ada peraturan terkait administrasi dan uang
jaminan? Sudahkah pemerintah mensosialisasikan ke Rumah Sakit? Bila sudah, apa
solusi pemerintah untuk menutupi biaya operasional RS bila ternyata keluarga
tidak mampu membayar? Bila BPJS jawabannya, Benarkah BPJS menanggung semua
biaya di ICU dengan sewajarnya? Apa ada ‘limit tertentu’ yang tidak menyisakan
pilihan lain kecuali RS harus menghemat ketat biaya, atau rela menuju
kebangkrutan?
2. MKDKI melakukan silence
conspiration? Bukankah ada SH disana? Logikanya : yang bisa menentukan
pemain badminton menang adalah wasit badminton, bukan wasit sepak bola. Kenapa?
Karena wasit badminton lah yang mengerti aturan, bila wasit sepak bola disuruh
memimpin pertandingan badminton, bisa kacau hasil game-nya. Begitu juga kasus
ini, mengapa MKDKI yang mengadili , karena yang berhak menentukan itu salah dan
benar adalah orang yang mengerti ilmu yang terkait.
3. Orang tua dan masyarakat memang perlu mendapat penjelasan
tentang setiap tindakan di RS, agar tersampaikan informasi yang diinginkan.
Walaupun sebenarnya, dalam kondisi tenaga medis melakukan penyelamatan darurat,
inform consent memang dapat tidak
dilakukan. Dan pastinya, saat-saat genting seperti itu, keluarga pun tidak
dalam kondisi tenang yang bisa menerima ‘berita buruk’ yang terjadi. Apa
kejadian banyaknya komplain ini menandakan sudah tidak ada lagi kondisi ‘trust’ antara pasien dan penolong? Atau
kejadian ini muncul karena sistem ‘administrasi’ yang belum ada solusinya?
***
22.00 Waktu tidur. Siap istirahat untuk kembali bekerja 12
jam esok hari.
0 komentar:
Post a Comment