Pukul 15.45.
Injury time. Tinggal menunggu jemputan yang datang jam 16.00, mengantarku dari
klinik hiperkes tempatku bekerja ke sandaran speedboat untuk pulang. Tiba-tiba
ada pasien datang, pria baya usia 52 tahun, jatuh dari ketinggian 3 meter.
Sekilas pengamatan, bapak tersebut masih
sadar penuh, GCS 356, motorik baik, tak terlihat perdarahan aktif. Lalu perawat
menunjukkan,”Lukanya dalam dok, referal ya?” Ada luka di kepala bagian
belakang, regio occipitalis, lebar 7 cm, dalam mencapai 1 cm, tanpa perdarahan
aktif. “Oke, refer mas.” (baca : rujuk)
Rute tercepat dari Jenebora (B) ke Balikpapan (A) adalah jalur laut
|
Sore ini
menjadi perjalanan pulang yang cukup panjang dan melelahkan, sekaligus
melegakan. Dan hal tersebut dimulai dari masalah di klinik. Klinik hiperkes
yang baru beroperasi aktif 3 bulan ini bukan diperuntukkan untuk rawat inap,
sehingga minimal tindakan dan minimal fasilitas. Keluarga panik setelah
mendengar pasien mengeluh pusing. Kakaknya mulai gupuh,”Sus, minta minum ya, ini
adek saya butuh minum. Sus, dia mengeluh sakit perut, apa tidak ada obat yang bisa
diminum. Sus, dia pusing ini, minta infus, infusnya mana.. Ini adik saya
gimana?”
“Tenang bu,
minuman ada disebelah sana, tapi jangan diberi minum banyak khawatir muntah.
Ini obatnya sudah diminumkan, ditunggu efeknya dulu. Sebentar lagi di infus,
ibu tenang saja, tarik nafas panjang perlahan.” Semua jawaban yang aku berikan
tidak cukup membuatnya tenang. Dalam hati aku ketar ketir juga, bagaimana kalau
kesadaran tiba-tiba menurun. Obat hanya ada tablet pamol dan ranitidin, infus
RL sudah diberikan walau dengan surflo ukuran 22. Oksigen transport tidak
tersedia.
Pelajaran pertama
: Harus ada yang tenang, saat semua yang lainnya panik. Tenang, tenang, pikirkan
semua dari awal, gunakan ilmu kegawatan yang selama ini sudah banyak diajarkan
di pelatihan
A : Airway,
jalan napas oke, tidak ada sumbatan, pasien bisa berbicara. Posisi inline,
tidak ada ganjalan bantal atau apapun yang membuat leher menekuk.
B :
Breathing, napas teratur 16x/menit, tidak ada takipneu. Look listen and feel
are within normal limit. Tidak ada jejas torak yang mengindikasikan
hematothorax
C : Akral
hangat, basah. Capillary refil time normal kurang dari 2 detik. Nadi radialis
cepat, 90x/menit tapi kuat angkat. Perdarahan aktif tidak ada. Vulnus appertum
di regio occipitalis sudah dibebat
ABC dalam
batas normal (sampai saat itu), primary survey clear. Lihat seksama dari atas
lagi, kira-kira apa saja ya kemungkinan orang jatuh dari ketinggian 3 meter
dengan posisi terduduk dan kepala membentur balok kayu? Pikiran singkatku saat
itu hanyalah
- EDH , epidural hematom. Saat itu belum bisa sepenuhnya kusingkirkan, namun kondisi masih terkendali. Kesadaran tidak menurun, pupil 3mm isokor
- SAH, sub arachnoid hematom. Tak ada tanda meningeal.
- Perdarahan intra abdominal atau retroperitoneal, kutepiskan dahulu karena tidak ada jejas thorax maupun abdomen, tidak ada meteorismus, ataupun tanda-tanda syok
- Close fraktur ektremitas, langsung kusingkirkan dengan melihat seluruh anggota geraknya dapat “mengerang” sempurna
Satu hal
yang setelahnya juga ditanyakan oleh orang Rumah Sakit : kemungkinan cervical
injury dan fraktur basis cranii. Tanda cervical injury tak nampak, defisit
neurologis tak timbul. Fraktur basis cranii bisa di exclude sementara dengan
tak adanya bloody rhinorae, bloody otorheae, brill hematome.
Tinggal
masalah mengantar ke rumah sakit terdekat dengan fasilitas memadai. Dan rumah
sakit “tedekat” itu adalah di RS Tentara Balikpapan, yang ditempuh dengan
speedboat 20 menit. Dan, cuaca pun seakan ingin ikut “berkontribusi” : hujan
langsung turun perlahan dan segera menjadi derasss.
Pasien
ditandu (pasien mencoba duduk dan terhuyung pusing) dengan susah payah, namun
akhirnya berhasil dipindahkan dari pick up ke speedboat sedang, yang biasanya
ditumpangi 6 orang (1 supir, 1 orang duduk samping supir, 4 lainnya di belakang
berhadapan). Susah sekali pemindahan itu, tandu susah masuk ke bagian tengah
speedboat yang notabene memang bukan untuk transportasi pasien. Tapi bukan
orang Indonesia kalau tak banyak akal. Alhamdulillah pasien bisa masuk. Tapi
eits, bukan berarti masalah selesai.
Pelajaran
kedua : di speedboat hampir tak dapat melakukan apapun selain berdoa. Infus
yang dipasang di punggung tangan kanan macet et causa clotting, tergeletak di
samping pasien setelah dimatikan tetesannya. Jadi pelajaran juga, pilih pasang
iv line dengan resiko macet dan tak berfungsi saat di boat, atau mengambil
resiko tidak pasang iv line dengan estimasi perjalanan 2 jam? Saat itu aku
memilih yang pertama. Di speedboat ini pegang nadi atau auskultasi pun tak bisa
karena tak ada saat tenang, seperti semut di gelas minum yang digoncang,
speedboat berusaha melaju ditengah gelombang. Hujan = gelombang = kabut = mual.
Saat itu ada pelangi, yang membuatku berpikir,”Pelanginya indah, semoga pasien
ini bisa indah pula, sampai dengan selamat di tempat rujukan.” Pemeriksaan yang
setidaknya bisa kulakukan adalah “look : gerak napas ada.”
Pelajaran
ketiga : transportasi itu sangat krusial. Sampai di pelabuhan, mobil yang
seharusnya digunakan untuk mengantar tak ada, harus menunggu 40 menit lagi.
Jangan dikira mobil ambulans yang muncul, yang kita tunggu ini mobil pick up
milik keluarga pasien di Balikpapan. Alhamdulillah, teman yang menjemput asisten apotekerku bersedia memberikan tumpangan mobil terios-nya. Alhasil,
pasien ditidurkan di kursi samping ditemani dua keluarga yang duduk memegang
kepala dan kaki pasien, aku di belakang sambil menahan mual dan mengajak bicara
pasien, memastikan kesadarannya tetap baik. Aman, pasien masih ‘nyambung’
dengan pertanyaan yang aku ajukan, tanda vital stabil, setidaknya aku melihat
gerak napas, serta memegang selalu akral dan nadi radialisnya. Setelah
perjalanan hampir 2 jam, sampailah di UGD RS Tentara
Pelajaran
keempat : telepon terlebih dahulu tempat rujukan, agar dapat mempersiapkan
lebih baik yang diperlukan. Beneran, aku lupa menelpon! Padahal selama jaga UGD
RS, bila mendapat pasien rujukan, aku hampir selalu bertanya,”Tadi sudah telpon
belum?” Untungnya dokter dan paramedis disana tidak marah, mungkin kasihan
melihat dokter dengan tampang lemas dan jaket basah. Informasi yang diperlukan
seperti mode of injury, hasil primary survey dan segala yang kuketahui telah kusampaikan.
Keluarga lebih calm down karena pasien selamat sampai tempat rujukan. Si kakak
spontan menjabat tangan dan memeluk tanda terima kasih.
Pelajaran
seumur hidup : Do your best! Percaya diri akan kemampuan, karena rendah diri di
saat yang tidak tepat itu membahayakan. Upgrade terus ilmu, tak ada kata
terlalu terlambat untuk belajar. InsyaAllah fasilitas yang belum tersedia
sedikit demi sedikit diusahakan. Perbaiki dan terus perbaiki.
Maju terus
kesehatan Indonesia. Buat dokter dan paramedis yang mengabdi di tempat nun jauh
disana tanpa transportasi memadai dan begitu sulitnya merujuk pasien, Ganbatte
ne! Do your best!
0 komentar:
Post a Comment