Jumat, 14 September 1990,,
Lahirlah aku sebagai buah pernikahan mama papa yang belum
genap setahun. Dan saat ini usiaku 26 tahun. Hmm, usia yang tidak terlalu
mengharapkan hadiah di ulang tahunnya (tapi kalau dikasi hadiah tetap senang,
hehe). Sekitar dua minggu yang lalu, saat papaku meminta baju untuk kado ulang
tahunnya (tanggal 30 September), aku pun tak kalah meminta,”Dela minta
hadiah!,” “Hee, uda ga ada hadiah-hadiahan, udah gede gini.”, timpal mama. Dan
aku lanjutkan,”Dela minta hadiah, mama ikut sholat Ied Adha.” Sudah lama mama
mengurus rumah, saat yang lain sholat di lapangan, aku pun tak ingat kapan
terakhir mama ikut, dan Alhamdulillah, personel sholat Ied bertambah satu tahun
ini (dan berkurang 2 karena ternyata adik yang kuliah pada ga sholat, >_<)
Tahun-tahun sebelumnya aku sholat dengan Mbah Uti, Tirta,
Mbah Kung, Papa, dan kadang Raymond juga diajak. Tahun pertama kerja, 2013, Ied
Fitri dan Ied Adha adalah hari aku jadi penjaga gawang alias jaga UGD klinik,
dan tidak sholat bersama keluarga. Dan spesial tahun ini, aku menggeret mama,
dan mengajaknya foto (sebagai bukti ‘keberhasilan’ mengajak), aslinya ini
adalah kemudahan dari sang Pemilik Hati, betapa mudahnya ia menggerakkanku
untuk mengajak dengan dalih kado ultah, dan betapa mudahnya mama mengiyakan dan
kita sholat bersama.
Pagi ini saat bangun tidur, kutemukan (lagi) tas (isi
hadiah), seperti kebiasaan mama tiap tahunnya. Hadiah-hadiahnya adalah barang
yang amat sangat jarang kubeli dengan uangku sendiri, yaitu tas, sepatu, jam
tangan. Bagiku, cukup tas satu dua, sepatu satu dua, dipake sampai kucel (ya
masih tetep layak lah), baru beli kalau rusak (dan ada alokasi). Kalau buku,
minggu ini datang 3 paketan dan bagiku itu investasi (walaupun pe er besarku
adalah membacanya hingga tuntas).
Soal hadiah fisik, mama papa orang terbaik yang tahu apa
yang dibutuhkan anaknya, bahkan tahu selera anaknya (lebih tepatnya selera mama
papa akhirnya jadi seleraku). Namun, yang lebih dahsyat lagi adalah doa mereka.
Tahun ini, bunyinya “Meet Milad
bu Dokter, Semoga diberi umur yang barokah, murah rejeki, panjang jodoh n anak
yang soleha, amiinn. Mama – Papa n Adiex-adiex.”
Dokter,, ini terwujud berkat doa mereka. Kalau ditengok ke
belakang, mama papa orang paling getol menginginkanku jadi dokter, karena
itulah warisan cita dari keluarga. Mbah juga ingin di keluarganya ada yang
dokter, cita itu pun menurun padaku. Saat sma, kelas 3 pun, aku masih simpang
siur mau jadi apa. Kalau ditanya orang akan kujawab jadi dokter, tapi hasil tes
psikologi tak mengatakan begitu. Pun tes masuk PTN kujalani semua, mulai dari
farmasi, psikologi, kedokteran. Dan kemudahan itupun muncul, Agustus 2006 aku resmi
menjadi maba pendidikan dokter fk unair, dengan biaya yang tidak kecil, 75 juta
di awal (harga emas saat itu 180.000/gr).
Dalam proses pendidikannya pun, doa tak lupa mengiringiku,
walaupun lulus dengan nilai yang biasa-biasa saja (yah, IP kepala 3 sih, cuma
komanya ga tinggi), itu sudah merupakan nikmat yang luar biasa. Bagaimana tidak?
Di kuliah dasar, ada teman yang drop out, ada yang mengalami stress, dll. Di
masa dokter muda pun juga begitu, banyak yang pintar tersandung alias tidak
lulus, banyak yang biasa-biasa saja tapi ‘beruntung’, mungkin aku salah satunya.
Apa salah satu kuncinya? Doa. Sebelum ujian selalu aku menelpon dan meminta
doa, bagiku, belajar boleh kurang (nakal ya), tapi minimal doa mama papa telah
kukantongi.
Sedikit cerita tentang masa dokter muda. Ujian pertamaku,
interna, penguji adalah konsultan nefrologi, dan aku dengan lugunya lupa
melakukan urinalisa! Cuma bisa teriak dalam hati pas tahu pengujinya, dan aku
lupa meracau apa dan beralasan apa hingga aku pun berhasil lulus interna. Proses
yudisium pun menegangkan. Itu adalah prosesi kelulusan, nama kita dipanggil
satu-satu, dan kita tak mengetahui keseluruhan hasil ujian dokter muda,kecuali
hari itu. Yang dipanggil berarti lulus keseluruhan, yang tidak dipanggil
berarti harus mengulang stase. Saat itu adalah hari dimana semua menangis, yang
lulus menangis bahagia dan syukur, yang tidak lulus menangis bersabar (peace!).
Dan itu saat dimana kelegaan dan embun sejuk menyiram hati, Alhamdulillah, doa
mama papa terkabul. Officially doctor! (habis itu sih masih ada ukdi, internsip,
tapi minimal uda lulus dulu, dan ga harus bayar spp)
Bu Dokter, kata
yang diucapkan mama papa padaku, yang semoga selalu menjadi doa bagiku agar
menjadi dokter yang amanah. Kembali pada doa, yang kedua adalah umur yang barokah. Yang digunakan untuk
taat, yang menambah pada kebaikan-kebaikan. Murah
rejeki. Rizki yang tak terhingga dari Allah, yang diberikan pada seluruh
makhluk, maupun yang perlu digapai dengan usaha, semoga Allah limpahkan rezeki
dan memberikan keberkahan di dalamnya, dan menjadikannya bermanfaat pula bagi
orang lain.
Panjang jodoh. Ini
adalah doa yang agak asing ditelingaku. Biasanya enteng jodoh, yang
sepemahamanku adalah dimudahkan bertemu jodoh. Tapi panjang jodoh? Mungkin bisa
aku kiaskan dengan panjang tangan yang berarti mudah memberi sedekah, hehe. Aku
menafsirkannya dengan bertemu dengan jodoh (yang panjang) dunia sampai akhirat Mengutip
dari kajian, karena menikah adalah ibadah, dan ibadah itu bersifat abadi, dunia
sampai akhirat.
Anak yang soleha.
Aamiin.. karena anak adalah investasi. Tiap makanan dan minuman yang diberikan
mama papa, dan menjadi daging dalam tubuh ini, adalah investasi bagi mereka. Dan
tiap amal yang kulakukan ada andil (serta pahala insyaAllah) mama papa disana. Semoga
aku (dan adik juga) dapat menjadi wasilah bagi mama papa di akhirat. Yang dapat
membawa ke surga, bukan menariknya ke jurang neraka. Ya Allah, doa orang tua adalah
doa yang mustajab. Kabulkanlah.. Dan teriring doa agar kau mendapat kebaikan
yang sama, wahai saudariku yang membaca artikel ini dan mendoakan dalam diam.
2 komentar:
aamiin yaa Rabbal alamiin^^
trimakasih doanya, dan trimakasih sudah mampir
Post a Comment