Kadang aku berpikir, lebih baik ga kasi
penjelasan sama sekali, daripada jelasin panjang lebar ke orang yang memang “ga
mau” diKIE..
Pasien
wanita hamil meminta rujukan kontrol ke SpOG untuk ANC rutin menggunakan kartu
BPJS. Lalu aku jelaskan baik-baik. “Bu, setahu saya, untuk kontrol rutin
seperti USG tidak ditanggung BPJS untuk kehamilan normal, kecuali ibu punya
resiko, contoh usia >35 tahun, ada darah tinggi, dsb.”
“Tapi kata petugas RSnya bisa, tapi
harus pakai rujukan dari dokter umum.”
“Iya, mungkin maksud beliau dikasi
rujukan kalau ada kelainan. Kalau ibu minta rujukan akan saya beri, namun itu
tergantung RS disana kasus ibu ditanggung atau ga. Bisa jadi ibu diminta bayar
sendiri, saya kasitahu sekarang, biar ibu ga kaget disana. Gimana?”
“Katanya bisa dok disana.”si ibu tetap
pada pernyataan awalnya
(Fine! She didn't get my point!) “Iya bu,
ini rujukannya,”aku nyerah sambil bingung harus tulis diagnosa apa, apa harus
diberi tulisan APS, karena memang tidak ada indikasi dirujuk, tapi niat itu aku
urungkan, mengingat kasihan si ibu pasti akan dimarahi di sana.
Lalu, ia
bertanya satu hal lagi
“Dok, saya susah BAB sejak hamil ini.
Sudah ga BAB sejak 1 minggu. BAB ga lancar, kecil-kecil keluarnya.”
“Kapan ibu terakhir BAB?” “1 minggu
yang lalu dok”
“1 minggu ga BAB atau masih BAB tapi
keluar kecil-kecil?” “BAB tapi keluar kecil.”
“Kapan itu terakhir keluar BAB?” “3 hari
lalu dok.”
(Hmmm, kadang,
kita harus tanya beberapa kali untuk dapat jawaban yang benar-benar kita
butuhkan)
“Ibu banyak minum air putih?” “Banyak
dok.”
“Berapa gelas sehari.” “4 gelas kayak
gitu dok.”,sambil nunjuk gelas minumku yang kira-kira berisi 250cc.
“Itu kurang ibu, apalagi ibu sekarang
hamil. Butuh minum lebih banyak lagi biar BAB lancar.” “Tapi kan kita minum
secukupnya dok, sesuai kebutuhan.”
“Nah, ibu butuhnya air putih lebih
banyak lagi, ga cukup 1 liter sehari. Ibu belum perlu minum obat, cukup
perbanyak air putih >2 liter sehari, banyak makan buah. BAB 3 hari
kecil-kecil masih normal.” “Jadi ini saya ga dikasi obat dok?”
“Belum perlu ibu, cukup air putih. Ibu
hamil sebaiknya ga minum obat kalau memang ga perlu.”
Dan ibu itu
keluar dengan raut muka yang aku yakin menunjukkan ekspresi ga puas karna tidak
kuberi obat. Lelah rasanya, niat baik untuk memberi penjelasan, malah dibalas
sanggahan “kan saya minum sesuai kebutuhan.”
Masih banyak
yang beranggapan, pergi ke dokter untuk dapat obat, kalau bisa satu kali minum obat
semua keluhan tuntas. Padahal ga semua penyakit butuh obat. Keluhan BAB ga
lancar karena air putih yang kurang, ya obatnya minum air putih banyak. Apalagi
dalam kondisi hamil, ga perlu minum obat kalau memang ga butuh. Habis menemui
pasien seperti ini, kadang aku berpikitr, apa lebih baik aku menyerah saja dan
memberi penjelasan seperlunya? Daripada jadi orang cerewet mending jadi orang
bermuka datar dan cenderung terkesan cemberut. Dan judul diriku saat bertemu
pasien itu mungkin adalah dokter cerewet sekaligus cemberut.
Fiuh,,,begitulah
profesi ini, penuh tantangan, dalam komunikasi salah satunya. Manusia memang
musuh bagi ketidaktahuannya. Wajar bila yang diberitahu menyangkal, karena
memang mereka belum tahu. Tugas kita lah memberi tahu, dan tetap berusaha
berjiwa lapang, saat yang diberitahu tetap “ngengkel” pada pendapat berdasar
ketidaktahuan ilmunya. Yah, untungnya tantangan kali ini adalah mengKIE pasien
yang bukan termasuk pasien well-educated.
Tantangannya beda, ke pasien well-educated
mungkin aku ditanya fisiologi saluran cerna terkait konstipasinya! (hahaha,
ngayal)
No excuse
dan more complain delz. Just do ur job with some of integrity. Be a real long
life learner.
160914
0 komentar:
Post a Comment