Sore tadi momen yang cukup menegangkan, seperti membuka
undian dan berharap mendapatkan hadiah! Yap, memasukkan nama lengkap dan nomor
STR untuk mengatahui hasil PTT Pusat periode Juni 2013. Hasilnyaaaa, saat
telapak tangan yang menutup mata ini perlahan kusingkirkan, hanya sekilas tanda
seru dalam segitiga yang terlintas, “Terima kasih atas partisipasinya, mohon
maaf saudara belum dapat diangkat sebagai Dokter PTT Kementerian Kesehatan
Periode Juni 2013.”
Nothing to lose,
seperti firasatku beberapa saat sebelumnya. Malam sebelumnya, aku bermimpi
meninggalkan teman sendirian, yang seperti berartikan : aku tidak diterima PTT,
sedang ia diterima. Ternyata firasatku mlengse,
teman yang satu ini tidak diterima. (Hehehe, ternyata kita sama Pu, belum jodoh).
Apapun itu, yang terjadi pastilah yang terbaik. Tak lepas juga doa orangtua,
yang kurasakan tidak mendukung sepenuhnya rencana untuk mengelana lagi selama 2
tahun lamanya. “Del, kalau nanti ga keterima PTT, kerja di sini aja.” “Del,
kalau kerja di puskesmas ini memang belum bisa dihitung PTT?” “Ini nih, Dela
mau pergi lagi 2 tahun.”“Lho, koq didoainnya ga lulus PTT..?!) Kata-kata kan
juga doa ya.
Salah satu dokter dan merupakan pimpinan klinik dimana aku
bekerja sekarang juga menertawakan setelah diberitahu,”Dok, saya ga keterima
PTT. Ada andil doa dokter juga disitu.” “Hahahaha.., tuh kan” Beberapa hari sebelumnya
saat mengaku daftar PTT, ia memberi petuah,”Orang tua itu tidak tega kalau anak
perempuannya pergi jauh.” Ia pun bercerita : Saat bekerja di poli geriatri
salah satu rumah sakit, ada nenek yang berobat dan berkata.”Anak saya sudah
saya sekolahkan di kedokteran, tapi tidak ada di dekat saya sekarang, dia jauh,
ibu disini sakit-sakitan.” Seisi poli tak kuasa pula menahan tetesan air mata.
Kalau saya berpendapat, PTT memang penting untuk membangun karakter dan cara
komunikasi, silakan PTT ke tempat jauh, tapi itu bagi laki-laki sang pencari
nafkah, sedang untuk perempuan sebaiknya berada dekat orang tua. Ada salah satu
hal juga,”Celaka seorang anak yang orangtuanya masih hidup, tapi ia tak dapat
menggapai surga.”
Haduh, salahkah bila berkeinginan,”Cukup satu kali seumur
hidup, ingin merasakan pelosok negri.”? Tidak salah, tidak ada yang salah,
mungkin hanya waktu yang belum bertemu kesempatan. Pasti akan ada waktu yang
tepat, dan cara yang tepat.
Hal yang menjadi kriteria dapat diterima PTT memang masih
misteri, tidak dapat dijelaskan pasti. Ada yang bilang, cukup pilih satu tempat
sangat terpencil tak perlu mengisi pilihan kedua. Ada lagi yang menyarankan
pilih segera di awal dan kirimkan berkas di awal waktu, karena penempatan juga
“dulu-duluan”. Ada juga usul, pilih tempat yang kita merupakan anak daerah
disana dan usahakan mendapat rekomendasi dinkes setempat. Tak ada yang pasti. Untuk kasusku, aku
memilih dua tempat, keduanya di Sulawesi Tenggara, bukan tempat dimana aku
tinggal sebelumnya. Kiriman berkas akhir-akhir waktu, deg-deg an juga
jangan-jangan berkas tidak masuk.“Last minute man” sebutannya, atau bagiku jadi
“last minute woman” hehehe. Jadi, apa yang membuat diterima atau tidak? Sulit
untuk menemukan jawabnya.
Satu pelajaran (yang sebenarnya sudah diketahui sejak awal)
adalah dapatkan restu orang tua. Bukan hanya meminta, tapi pastikan dapat.
Husnudhon, berbaik sangka pada Allah, adalah hal terpenting saat ini. “Satu
pintu tertutup dan lihat banyak lainnya yang terbuka”, salah satu teman mengingatkan
(Merci buat Elvy). Dan kapankah waktu dapat bertemu kesempatan? Biar ikhtiar
dan tawakkal menjawabnya. Usaha dan Berserah. :)
0 komentar:
Post a Comment