Lingkaran senja ini biasa, bahkan teramat biasa. Tidak ada
yang istimewa sore ini, hanya beberapa orang ibu secara sukarela membentuk
lingkaran tak sempurna. Membawa buah hati, tak segan mengaji beralunan,
mengkaji, dan mendengarkan ocehan dua orang belia yang tak cukup ilmu.
Ini kali kedua aku dan Puri diminta untuk mengisi lingkaran
sederhana itu. Bermula dari 4 orang, dan kemudian satu persatu berdatanganlah
ibu dan buah hatinya. Beragam usia, mulai dari 30-an sampai 40 keatas kukira.
Awalnya dimulai dengan mengaji alQur-an, surat Taubah yang kita baca. Mereka tak
segan mengingatkan jika ada kekeliruan baca. Gendongan anak ditangan pun tidak
mengganggu mereka untuk melanjutkan membaca. Selesai mengaji, dimulailah sesi
kami, berbicara dan sedikit sharing mengenai demam, batuk, kejang—sakit yang
sering membuat sang ibu panik. Muka antusias itu membuat kami cukup
bersemangat, setelah sebelumnya kami lemas tidak mendapat leaflet yang sesuai.
Bukan hal diatas yang ingin kubagi dengan kalian sebenarnya.
Lalu apa? Langsung kuceritakan saja ya. Seorang ibu bercerita pada kami. Dulu,
ia dipaksa nenek tetangganya untuk menikahi cucunya dan akhirnya pun mereka
menikah. Setelah diusut, memang ada alasan dibalik itu yang tidak perlu
diceritakan. Masalah itu yang membuat ibu itu dan suaminya kurang akur.
Keluarga pihak suaminya pun tak jarang mengganggu ibu ini, mulai dari mengetuk
pintu rumah malam hari, siang hari dan perlakuan lainnya yang tidak membuat
nyaman. Parahnya saudara pihak laki-laki sebagian besar tinggal di sekitar
rumah itu juga. Suasana hati dan lingkungan tak nyaman akhirnya memaksa ibu itu
mengambil keputusan. Siang hari ia tinggal dirumah orangtuanya untuk berjualan
dan malamnya baru pulang ke rumahnya. Uang kebutuhan sekolah anaknya pun ia
yang mengusahakan. Suatu saat ia pernah meminta pisah dari suami, namun tidak
diijinkan. Dan sekarang pun ia tetap tinggal dengan rutinitas seperti itu.
Ibu lain, tampak dari raut muka dan perawakannya berusia
45th, membawa anak laki-laki usia 2 tahun lebih. Belum bisa berbicara, belum
bisa berjalan, dan tampak dengan muka khas bagi kami orang kesehatan. Ia tampak
menderita down syndrome. Kita tak mengucap satu katapun mengenai itu. Aku dan
Puri hanya berani mendiskusikan setelah kita keluar dari tempat itu. Yang kita
ilhat adalah begitu sayangnya ibu itu pada anaknya. Telaten. Sabar.
Dari sudut pandang mereka sore itu, kitalah yang ‘mengajar’
dan berbagi ilmu kesehatan. Namun bagi kami-bagiku-tanpa kata, mereka berbagi
mengenai pelajaran hidup pernikahan yang nyata. Tak semua pernikahan semanis
madu, senyaman piknik di taman bunga. Ada komunikasi antar keluarga yang perlu
dibangun, ada takdir yang perlu diterima dengan lapang. Dan yang pasti, ada
bahagia yang perlu diusahakan.
Terima kasih pada mereka. Lingkaran senja luar biasa, dengan
masalah hidup yang tak sederhana, mereka tetap tersenyum, tak kenal lelah
menuntut ilmu agama. Ibu itu mau dan berhasil menyempatkan waktunya untuk
mengaji, mengkaji, dan berbagi.
Bagaimana dengan kita? Dengan waktu luang yang banyak, dengan
tidak ada –atau setidaknya belum ada-masalah keluarga yang perlu diselesaikan.
Mampukah? Maukah? Dan akankah meluangkan
waktu menuntut ilmu agama, bergabung bersama lingkaran senja? Yes, we would and
we should.
0 komentar:
Post a Comment