Penglihatan...Begitu tak ternilainya karunia ini,
sampai-sampai baru dirasakan nilainya ketika nikmat itu telah dicabut sedikit
demi sedikit.
Sedikit pelajaran mengenai mata kuingat. Proses manusia
melihat. Cahaya berupa gelombang yang ditangkap oleh pupil, kemudian menuju
lensa untuk kemudian diteruskan ke retina, dari retina sinyal tersebut dibawa
ke otak melalui saraf optik. Disana, gambar yang diterima dari kedua mata yang
awalnya dalam posisi terbalik, diterjemahnya sedemikian rupa seperti yang kita lihat.
Dunia dengan berbagai warna dan bentuk, alam dengan segala kemegahannya,
manusia dengan segala keelokan dan senyumnya. Semua kita nikmati setiap
detiknya secara “otomatis” tanpa perlu mengetahui segala kerumitan dari proses
melihat ini. Jangankan mengatur, untuk sekedar mempelajarinya saja sudah
membuat kita pusing.
Saking otomatisnya proses melihat ini, kita kadang merasa
bahwa nikmat ini memang ‘seharusnya’ ada pada diri kita. Kita yang punya mata,
suka-suka kita dong mau lihat apa. Mata-mata gue. Apa urusan loe? Begitulah ego kita berkata.
Banyak hal-hal yang tidak perlu dilihat. Aurat wanita dan pria yang diumbar.
Drama yang membuat hati panjang angan. Buku yang tidak menambah ilmu dan iman
kita, hanya cukup membuat kita tertawa dan terlupa.
Bukan menghardik teman-teman, namun ini pengingat bagi
diriku. Mbah Kung, adalah sosok yang dipilih Allah untuk menerima ujian ini. Di
usianya yang 62 tahun, sekitar 2-3 bulan yang lalu, mbah merasa kabur pada mata
kanan. Katarak imatur, proses yang terjadi pada lensa yang memang terjadi
seiring bertambahnya usia, membuat penglihatan kabur. Berkali-kali mbah tanya
padaku,”Harus operasi kah?” Mbah kung termasuk orang yang takut berhubungan
dengan rumah sakit dan operasi. “Ya mbah, kalau parah harus operasi.”, begitu
penjelasanku. Sekarang berobat saja dulu ke dokter mata, diikuti nasihat dokter
matanya.
“Di tetesi obat mata dulu ya pak dan pakai kacamata, belum
perlu operasi.”, begitu hasil konsultasi dengan spesialis mata. Satu bulan
belum dirasa perubahan, mbah mulai gelisah. Berkali-kali tanya padaku,”Kok
masih kabur ya?” Tetangga mbah baru-baru saja operasi katarak, pagi operasi,
sore langsung dapat melihat jelas. Tetangga itu pun menggebu menyarankan ke
mbah,”Operasi aja pak Lan, mentereng langsung bisa lihat.” Setelah itu, mbah
yang biasanya alergi dengan kata operasi, mendadak ingin segera dioperasi.
Setelah Ramadhan adalah jadwal operasinya. Namun sebulan lalu, mbah ingin
segera dioperasi dan dokter mata pun membolehkan. Setelah cek up, kadar gula
terkontrol, jantung baik, mbah pun di operasi. Jelas mbah mempunyai harapan
tinggi matanya dapat melihat jelas. Sorenya setelah operasi, mbah mengeluh,”Kok
masi kabur ya?” Mbah Uti yang memang lebih ekspresif (baca : sedikit cerewet) segera menumpahkan
emosinya. “Mbah Kung mu ini lho, pengennya sa’det sa’nyet. Pengen hari ini
operasi, hari ini sembuh. Dokternya bilang ga usa operasi dulu, mbah ngotot
operasi, sekarang sudah operasi, ngotot pengen sembuh hari ini. Sabar tho pak,.”,
mbah uti mengeluhkan mbah Kung yang “grusa grusu” Aku hanya bisa menjelaskan,”Sabar
mbah, kalau orang dengan gula memang sembuhnya lebih lama.”
Empat hari post operasi, mbah menjalani operasi kedua mata
mata yang sama. “Di sedot.”, begitu penjelasan dokter ke mbah, aku tidak
menemaninya kontrol karena bekerja. Setelah itu, mbah bilang matanya bisa
melihat sinar merah, tidak jelas bentuk benda, hanya berupa sinar. Rutin mbah
menjalani jadwal kontrol 1-2x tiap minggu, namun mbah mulai ga sabar dengan
hasil yang tak kunjung sesuai harapannya. Dua bulan ini belum ada perubahan
signifikan. Selama dua bulan ini, emosi mbah pun terkuras, bukan hanya Kung,
tapi juga Uti. Mbah Kung mengeluh, “Kenapa
belum bisa melihat?” dan akhirnya malas melakukan apa-apa. Jualan es
yang merupakan rutinitas memang ditinggalkan karena tidak boleh angkat berat
post operasi. Rutinitas hanya berpindah dari kamar, ke ruang tamu, dan mushola
dekat rumah. Selera makan pun berkurang, hanya makan nasi lauk kuah sayur.
Ayam, telur, ikan, semua enggan dimakan. Uti tak kalah stress. Bingung harus
memasakkan apa. “Mbah Kung itu ga mau makan apa-apa. Sudah susah-susah
dimasakkan. Aku sudah berkorban banyak lho pak.”
Kondisi itu bertambah runyam dengan
pendengaran mbah Uti yang berkurang. Mbah Kung ngomong pelan, ga dengar,
ngomong keras disangka teriak. “Belikan Alat Bantu Dengar,” itu perintah Kung
ke aku. Aku belikan ABD sementara, namun kurang nyaman dipakai Uti, yang
akhirnya tak dipakai rutin. Serba salah, Kung mengeluhkan Uti, Uti mengeluhkan
Kung. “Suami ujian bagi istri, Istri ujian bagi suami,”itu istilah papaku.
“Mbah
pengen ke rumah sakit lain, nanti sama dokter X, yang operasi Pak tetangga itu,
biar ada perubahan.”
“Mbah
ga pengen ke kondangan, naik tangganya susah, nanti nyusahin orang banyak,
orang sudah cacat gini.”
“Biar
sudah, sembuh ga sembuh, namanya penyakit sudah dibikin sendiri. Dulu yang
ngotot operasi kan mbah.”
Begitu kata-kata bernuansa hilang harapan selalu kudengar
dari Kung. Kucoba menghibur dengan,”Mbah, pas Haji dulu doanya apa hayo, pengen
masuk surga kan? Kalau pengen masuk surga memang ada ujiannya. Pulang Haji,
memang ada ujiannya untuk membuktikan mbah haji mabrur. Nanti dicuci dosanya, biar
bisa masuk surga.” Lain waktu, kuceritakan tentang kisah anak kecil buta yang
rela menempuh berkilo kilo meter untuk menghafal Qur’an dan ia minta agar
penglihatannya tidak dikembalikan di dunia. “Mbah, kalau lagi diuji, harus
tambah semangat ibadahnya. Ga bisa baca Qur’an, bisa dengerin kan?” Speaker
Al-Qur’an pun kuhadiahkan untuk mbah. Aku pun merencanakan membawa mbah “jalan-jalan”
ke Panti akhir bulan Mei ini, semoga bisa melembutkan hati, dan mendapat doa
mustajab dari anak yatim yang dibantu. Belum juga mencapai tanggal 29 mei, hari
ini terjadi yang telah kutakutkan.
Sore ini, telpon sebelum jaga malam mengejutkanku. Sekarang
mata mbah yang kiri juga kabur. Tadi mbah kebingungan setelah sholat Isya
karena tidak bisa pulang. Uti pun menelpon dengan suara bergetar sambil
menangis, katanya Kung juga menangis. Ya Allah, Kung yang merupakan sosok tegar
selama ini telah berada di puncak kerapuhannya dengan diambil sedikit nikmat
penglihatan. Bila selama ini ia tegar dengan penyakit diabet dan hipertensi
yang mengharuskannya meminum 4 jenis obat rutin, kali ini ketegaran itu hancur
dengan kedua matanya yang kabur.
Aku yang notabene dokter umum pun tak bisa berbuat banyak,
hanya kusarankan mbah istighfar yang banyak, kita ke dokter mata ya secepatnya.
Katarak dan Diabetes memang bukan kombinasi yang baik, diabetes memperparah
proses penyembuhan katarak. Ketika operasi pada mata satu kurang berhasil,
riskan untuk operasi mata lainnya. Jelas emosi terkuras,”Bagaimana jika tidak
berhasil lagi? Bagaimana kalau tidak bisa melihat lagi?”. Pemikiran seperti itu
saja sudah membuat bergidik.
Tahap demi tahap mbah diuji dengan penglihatan kaburnya
semakin membuatku sadar dengan betapa besarnya nikmat penglihatan ini. Kejadian
didepanku serasa menamparku yang masih belum mempergunakan mata ini dengan
baik. Rasanya ingin tiap detik dihabiskan untuk melihat yang bermanfaat, baca
dan menghafal al-Qur’an, mengkhatamkan buku bacaan di rumah. Ingin rasanya
tidak berlebihan tidur, tidak menonton tivi, tidak melihat hal-hal yang membuat
panjang angan-angan. Semua ingin kulakukan sebelum nikmat penglihatan ini
diambil kembali oleh Sang Pemilik.
Kadang aku merasa nikmat ini belum sesempurna orang lain
yang berpenglihatan normal. Mataku high myop dan cylinder, membuatnya terlihat
sedikit strabismus. Resiko ablatio
retina lebih besar, terlebih saat mengejan jika melahirkan normal, sehingga
orang yang sepertiku biasanya disarankan untuk operasi caesar jika melahirkan.
Aku tak dapat melihat jelas tanpa kacamata. Suatu saat aku merasakan ketakutan
saat kacamata itu tak dapat kutemukan. Kecemasan yang mengerikan walau terjadi
hanya sesaat.
Sungguh, itu tidak ada apa-apanya dengan yang dirasakan
mbah. Walaupun mbah selama 62 tahunnya dapat menglihat jelas, ternyata ia pun
begitu terpukul ketika penglihatan itu mulai menghilang.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS Al Baqarah : 286)
Allah memilih mbah karena mbah mampu, dan semoga mbah sadar
sepenuhnya hal itu. Dan bagi diriku yang masih memiliki penglihatan jelas,
tidak ada lagi alasan, mata ini harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk sesuatu
yang bermanfaat.
Catatan untuk diriku,
Di balik meja poli, saat jaga malam
21.05.16 , 00.35