Merasakan betapa
bermanfaatnya pertamini—pedagang bensin eceran. Saat hujan dan motor mogok di
tengah jalan tembusan antah berantah.
Ingin posting status seperti itu, terbersit jempol-jempol
yang akan menge-klik-nya, dan senang akan perhatian sang pemilik jempol. Hmm,
kuurungkan niat posting itu. Rasanya status tak bermanfaat, selain melegakanku.
Status yang tak kan membuatku atau yang lainnya bermasalah ketika tidak
membuatnya. Puas. Hanya itu hasil dari postingan tersebut. Puasnya hati sesaat.
Bukan puas yang murni
Hati. Bagaimana kabarmu? Carilah ia ditiga hal, saat membaca
Qur’an, saat hadir dalam majelis ilmu, dan saat kesendirianmu. Saat kau tak
menemukannya, mintalah pada Allah hati yang baru, karena sesungguhnya engkau
tak punya hati. Hikz, begitukah kondisimu saat ini?
Berapa lama tak kuhidupkan, berapa lama tak diberi makan,
berapa lama tak kuperhatikan sakitmu dan kubiarkan tanpa obat? Hidupnya hati
dengan tauhid, makanannya adalah ilmu Qur’an dan Hadits, obatnya adalah fiqh.
Begitu tentramnya orang yang hanya memperdulikan penilaian
makhluk langit. Ia tak sibuk dengan berapa banyak jempol (baca: Like) yang ia dapat. Berapa banyaknya
mata yang telah membaca tulisannya. Berapa banyak comment yang mampir di blog nya.
Niat, begitu beratnya diluruskan. Sebelum, saat, dan setelah
amal. Tercampur riya dan hilanglah pahala amal. Sudahkah niatmu lurus? Sudahkah
hatimu mendengar petunjuknya? Atau ia mulai menunjukkan titik-titik kotor benih
kerasnya hati?
Yaa Muqallibal Qulb,
Tsabbit Qalbi ‘ala Diinik…
#menulis adalah saat berharga dimana aku berbicara dengan
diriku.