Dua kali dalam satu minggu terakhir saya merujuk pasien dari
klinik ke rumah sakit, oleh perawat yang sama juga. Pasien pertama, bapak A usia
awal 50 tahun dengan penyakit jantung koroner, dan yang kedua bapak B 40 tahun
dengan dugaan Dengue Fever dan Dehidrasi.
Pak A kami rujuk salah satu rumah sakit pemerintah yang
melayani BPJS. Saya sangu-kan rujukan resmi ke UGD. Sampai disana, langsung disemprot
dengan pertanyaan (atau penghakiman ya), “Koq ga telp dulu? Tau dari mana ini CAD?
Mana EKG-nya? Doktermu itu! Memang ini rumah sakit mbah-mu apa?” Saya yang mendengar penuturan perawat yang
menceritakan semprotan itu langsung melengos. Yang membeber pertanyaan itu
petugas dengan pangkat, tidak berani mas perawat untuk menjawab selain iya,
nggeh.
Tau dari mana CAD, ga ada EKG nya! Doktermu itu.. à tolong, tolong
konfirmasi dan lihat status pasien dulu sebelum itu. Bapak itu sudah 2x masuk rumah
sakit dengan keluhan yang sama, bapak itu pasien rutin penerima obat ISDN,
Bisoprolol, Amlodipin, Clopidogrel. Hari itu adalah hari rutinnya kontrol ke
poli penyakit dalam, rujukan poli pun telah saya beri, namun pagi setelah
konsumsi ISDN 2x, masih terasa nyeri dada. Mana tega kami biarkan ia ke ugd
atau poli sendiri tanpa ambulance dan oksigen? EKG mana? Jangan dikira saat
saya omongkan klinik langsung terbayang peralatan standar seperti itu, ini
klinik yang untuk menjangkaunya butuh speed 20 menit dari pelabuhan, dan 7
menit berkendara mobil, belum ada EKG, monitor dan lainnya.
Koq ga telp dulu? Iya saya mengaku salah tidak menelpon
terlebih dahulu. Tapi cobalah evaluasi juga, bagaimana perlakuan saat menjawab
telpon. Saya pribadi (bukan perawat) pernah 3x menjadi anak baik dan
mengkonfirmasi rujukan. Apa yang saya dapat? Kamar penuh. Ya, berprasangka baik
bahwa memang kamar penuh. Satu kejadian terakhir tidak membuat saya bisa
berprasangka baik lagi.
Pasien anak 16 tahun, pagi baru keluar rumah sakit, dirawat
spesialis saraf dan penyakit dalam karena nyeri kepala hebat dan alergi obat.
Sorenya saat ia minum obat, kembali alergi dan tidak dapat menelan, injeksi DD
telah dilakukan, kami sarankan untuk observasi di RS malam itu. Saya telp rumah
sakit itu. Tanpa ada jeda “saya tanya dulu ya kamarnya” pertugas itu menjawab “penuh”,
dan saat itu berkebetulan keluarga saya ada yang dirawat. Pagi saya tanya,”Dari
sore kemarin sampai pagi ini ada berapa bed yang kosong? Dua. Dua bed.”
“Walaupun saya jelaskan si pasien itu pasien rutin RS itu,
dan menawarkan solusi apa tidak bisa diobservasi dulu dan dikonsulkan ke
spesialis yang sebelumnya merawat kemudian ditunggu follow up nya? Dia
menjawab,”Di sini ga bisa observasi mba, kalau kamar penuh ya mau gimana, kan
jadinya ga bisa dirawat. Dirujuk RS lain dulu, baru pagi boleh konfirmasi ke
sini lagi.”
Ia menawarkan solusi lain lagi, dicoba ke THT dulu, kan
penyakitnya ga bisa menelan ya? Langsung saya tepis,”Bukan pak, saya takut
edema laring, karena alergi obat-nya, suara paru masih baik, tapi selama ia
belum bisa menelan, saya tidak berani pulangkan.”
Kembali ke pasien awal. “Memang ini rumah sakit mbah-mu apa?”
Hmm, jelas bukan, juga bukan rumah sakit mbah anda (klo saya boleh
menambahkan). Kami paham sebaiknya merujuk dengan prosedural, telpon dulu,
beritahu dulu, tapi setiap kami menelpon, tak ada tanggapan,”baik, silahkan
rujuk kesini.” Salahkah kami kalau kami “kapok” menelpon? Jika jawabannya
salah. Saya ganti pertanyaan,”Memang sebegitu pantas kah kami mendapat
perlakuan seperti itu?” Disajikan welcome drink berupa semprotan pertanyaan.
Wahai diri (saya juga termasuk didalamnya). Tolong-lah
pagari lisan, jika ia tak dapat berkata santun, tolong, tolong sekali lagi,
janganlah menambah sakit. Tak bisakah anda bertanya baik-baik, tanpa nada
menghakimi? Tidak perlu teriak, kami bisa mendengar tanpa alat bantu. Volume
suara itu tidak akan menyelesaikan masalah.
***
“Kapok” ke rumah sakit pertama, perawat merujuk pasien kedua
ke RS D, termasuk rumah sakit pemerintah yang dikenal lebih santun. Pasien
demam 3 hari, badan lemas, mual. Akral dingin, Tensi 90/60 mmHg, rumple leed
antara positif dan tidak. Curiga DF, dan kami tidak bisa memastikan karena
tidak bisa pemeriksaan DL disini. Sampai disana, diperiksa dan hasil
pemeriksaan baik. Pasien dipulangkan, perawat negosiasi, dan keluar kata-kata
dari dokter,”Kalau mau nginep gratis ya bukan di RS.”
Saya tidak akan bahas indikasi pasien dirawat atau tidak ada
dipulangkan, yang saya sesali adalah kata sejawat saya. Kemana santun itu? Bukankah
kami dokter diajari etika sejak semester awal, dan kata Hipocrates masih
terngiang, to cure seldom, to comfort always. “Pak, bapak ini tidak perlu
rawat inap, boleh dibawa pulang, kalau lemas, besok bisa kembali ke poli.” Ah,
mungkin perawat saya yang ngotot, atau mungkin saat itu pasien UGD ramai, atau
mungkin yang lainnya. Tapi saya merindukan kata santun itu.
***
Kali ini dari mba tenaga kesehatan di tempat saya. Ibunya dugaan
kanker payudara, puting sudah menjorok ke dalam, di sekeliling ada struktur
keras seperti jeruk purut, keluhan nyeri pinggang dan demam juga sudah
dirasakan. Sudah lama mba itu tahu, sudah berulang kali bujuk rayu dilayangkan
tapi si ibu enggan. Mungkin salah satu karena khawatir biaya pengobatakan akan
membebani si anak, ibu itu bilang,”sudah, ibu ga usah dipikir, kamu mikir ani
dan ifa aja” (cucunya). Sampai suatu hari si ibu drop, demam dan lemas,
akhirnya dengan buruk rayu terakhir dibawalah ke UGD RS. Dokter menjelaskan
tidak ada indikasi rawat inap, dan besok harus berobat ke poli Onkologi. Salah
satu pegawai kesehatan disana, membeber dengan pertanyaan
“Koq baru dibawa sekarang? Sudah berobat?” Saat dijawab,
sudah, saya berobat herbal. “Gimana berobat herbal? Sembuh?!” mengajukan
pertanyaan yang retoris dengan nada tidak normal.
Sedih saya dengar mba tersebut cerita. Keberanian si ibu
untuk mau diobati dan keberhasilan si anak untuk membujuk rayu ibunya berobat,
disambut dengan pertanyaan “khas” dengan nada yang “khas” pula.
Kompleks, tidak semudah itu kita dapat menyimpulkan keadaan
pasien. Banyak hal yang membuat ia baru berobat sekarang, banyak yang membuat
ia takut berobat (yang mungkin salah satunya bertemu petugas seperti diatas).
Sekali lagi, jika tidak bisa membantu, cukup, jangan ditambahi dengan menabur
garam di luka. Ibu itu sudah susah, jangan menambah susah. Hibur ia dengan
optimisme,” Sudah benar ibu ke rumah sakit, sekarang tidak perlu pakai
herbal-nya lagi ya. Besok ke sini lagi. Penyakit-nya bisa dipastikan, dan kami
pasti membantu semaksimal mungkin. Ibu bantu dengan berusaha juga dan berdoa.”
Adem kan, dingin, sejuk perkataannya. Pastinya membuat ibu tidak takut untuk
kembali. Sedang pertanyaan,”Koq baru berobat sekarang? Memang sembuh pakai
herbal?” tidak membantu sama sekali, justru membuat ‘trauma’ baru. (karena ini
juga diucapkan dengan nada tidak normal, seperti kita mengatakan,”tuh kan, apa
saya bilang”)
Mungkin budaya nakut-nakuti dan marah-marahi sudah sejak
kecil kita terima dan akhirnya secara tidak sadar merasuk ke perilaku dan alam
bawah sadar,”Kalau ga dimarahi pasti nakal.” Bukan budaya memberikan optimisme.
Nilai jelek langsung dimarahi,”Ga belajar ya? Gimana klo nilai jelek ga naik
kelas?”
Sudahlah, tidak perlu berpanjang lebar. Hal diatas tentu
dilakukan oleh oknum, tidak semua seperti itu. Hanya perawat saya yang ‘beruntung’
menemui hal tersebut berturut-turut dalam seminggu ini. Semoga tidak menjadi ‘trauma’,
trauma bagi pasien, trauma bagi perawat yang merujuk, dan lainnya. Dan
sebaiknya kita (dan saya) mencoba mencari dan berteman dengan santun itu. Santun
dan memilih diam, ketika kita tidak dapat berkata baik. Santun dan menahan
emosi, jikalau tidak dapat membantu, tidaklah kemudian menambah luka.